Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912, sebagai putra Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Pada usia 4 tahun, dia mulai hidup terpisah dari keluarganya. Pendidikan awalnya dimulai di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung.
Pada tahun 1930-an, Hamengkubuwono IX melanjutkan pendidikan di Universiteit Leiden di Belanda dan dikenal dengan julukan "Sultan Henkie". Ia dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada 18 Maret 1940 dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh Ingkang Kaping Songo".
Hamengkubuwono IX adalah seorang sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Ia juga berperan penting dalam mendapatkan status khusus bagi Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Sejak 1946, ia beberapa kali menjabat sebagai menteri di kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1966, posisinya adalah Menteri Utama bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin).
Pada tahun 1973, Hamengkubuwono IX diangkat sebagai wakil presiden. Di akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali dengan alasan kesehatan. Namun, terdapat rumor yang menyatakan bahwa penolakannya disebabkan oleh ketidaksetujuannya terhadap gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang represif, seperti yang terlihat pada Peristiwa Malari, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada 1 Oktober 1988, Hamengkubuwono IX meninggal dunia di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat, dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.
Sejak muda, Hamengkubuwono IX aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, ia telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Presiden Soekarno sering berkonsultasi dengannya tentang penyatuan organisasi kepanduan dan pendirian gerakan pramuka. Pada 9 Maret 1961, dibentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka yang terdiri dari Hamengkubuwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, dan Achmadi. Mereka menyusun Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan melahirkan Keputusan Presiden RI No. 238 Tahun 1961.
Berbagai organisasi kepanduan di Indonesia akhirnya bergabung menjadi satu dalam organisasi pramuka yang resmi berdiri pada 14 Agustus 1961. Nama "Pramuka" diambil dari kata "Poromuko", yang berarti prajurit terdepan dalam peperangan, dan merupakan singkatan dari "Praja Muda Karana", yang berarti jiwa muda yang suka berkarya.
Hamengkubuwono IX ditunjuk sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Wakil Ketua I Majelis Pembimbing Nasional (Mapinas), dengan Ketua Mapinas adalah Presiden RI. Ia menjabat selama empat periode berturut-turut dari 1961-1974. Janji pramuka, yang dikenal sebagai Tri Satya Pramuka, dan Dasa Dharma Pramuka, diperkenalkan sejak organisasi pramuka ini resmi berdiri.
Seragam pramuka di Indonesia ditetapkan dengan warna coklat muda untuk atasan dan coklat tua untuk bawahan, melambangkan elemen air dan tanah. Pramuka kemudian diajarkan di berbagai sekolah dan menjadi gerakan pendidikan yang dikenal sejak dini. Pramuka memiliki empat tingkatan berdasarkan usia: Pramuka Siaga (7-10 tahun), Pramuka Penggalang (11-15 tahun), Pramuka Penegak (16-20 tahun), dan Pramuka Pandega (21-25 tahun). Keberhasilan Hamengkubuwono IX dalam membangun Gerakan Pramuka mendapat pujian internasional, dan ia dianugerahi Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973, penghargaan tertinggi untuk kontribusi besar dalam pengembangan kepramukaan.
Info Menarik tentang Sultan Hamengkubuwono IX :
Kepribadian multifaset Hamengkubuwono IX menunjukkan bahwa beliau bukan hanya seorang pemimpin politik dan tokoh pendidikan, tetapi juga seorang individu dengan berbagai minat dan kontribusi yang luas, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional.